Pendahuluan.
Sejarah modernisasi pendidikan di Mesir sangat lekat dengan gerakan pembaharuan Islam. Hal ini karenakan, sebagaimana ungkap Esposito, hampir seluruh pelaku-pelakunya adalah tokoh-tokoh pembaharu agama. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Hasan al-Banna, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Pasha, dan yang lainnya.
Secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria, Mesir pada tanggal 2 Juli 1798 M. Tujuan utamanya adalah menguasai daerah Timur, terutama India. Napolen Bonaparte menjadikan Mesir, hanya sebagai batu loncatan saja untuk menguasai India, yang pada waktu itu dibawah pengaruh kekuasaan kolonial Inggris. Konon, kedatangan Napolen ke Mesir tidak hanya dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa seratus enam puluh orang diantaranaya pakar ilmu pengetahuan, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, Yunani, peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera, dan lain sebagainya), serta seribu orang sipil. Tidak hanya itu, ia pun mendirikan lembaga riset bernama Institut d’Egypte, yang terdiri dari empat departemen, yaitu: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan polititik, serta ilmu sastera dan kesenian. Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi Napoleon dalam memerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan (ulama’) Islam. Ini adalah moment kali pertama ilmuwan Islam kontak langsung dengan peradaban Eropa, termasuk Abd al-Rahman al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam berbagai bahasa dunia.
Menurut Joseph S. Szy Liowics, untuk memenuhi kebutuhan ekspedisinya, Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran modern kepada Mesir serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Mesir dengan cara mengalihkan budaya tinggi Perancis kepada masyarakat setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama, banyak diantara cendekiawan Mesir belajar tentang perpajakan, pertanian, kesehatan, administrasi, dan arkeologi.
Ekspedisi Napoleon ke Mesir membawa angin segar dan perubahan signifikan bagi sejarah perkembangan bangsa Mesir, terutama yang menyangkut pembaharuan dan modernisasi pendidikan di sana. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perancis banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh Mesir untuk melakukan perubahan secara mendasar sistem dan kurikulum pendidikan yang sebelunya dilakukan secara konvesional. Diantara tokoh yang mendapatkan inspirasi tersebut adalah Muhammad Ali Pasa dan Muhammad Abduh. Dua tokoh ini, secara historis, kiprahnya paling menonjol jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Berdasarkan asumsi tersebut, artikel ini akan mengkaji keterlibatan keduanya dalam melakukan usaha pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir secara berurutan.
Muhammad Ali Pasa : Peletak dasar-dasar pendidikan modern di Mesir.
Biografi Muhammad Ali Pasa sangat luas diketahui oleh masyarakat karena banyak ditulis diberbagai buku biografi baik secara lokal maupun internasional. Beliau lahir di Kawallah, Yunani, pada tahun 1765, seorang keturunan Turki dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Tidak seperti anak-anak lain, masa kecilnya dihabiskan untuk membantu orang tuannya, dan tidak sempat mengenyam pendidikan. Pada usia dewasa ia berkerja sebagai pemungut pajak, dan karena keberhasilannya, ia kemudian diangkat sebagai menantu oleh salah seorang gubernur Utsmani. Selanjutnya ia masuk dinas militer dan kariernya terus naik. Ketika pengiriman pasukan ke Mesir, ia diangkat sebagai wakil perwira yang mengepalai pasukan. Dalam pertempuran yang terjadi dengan tentara Perancis, ia menunjukkan keberanian yang luar biasa dan segera diangkat menjadi kolonel. Ketika tentara perancis ke luar dari Mesir pada tahun 1801, Muhammad Ali turut memerankan peranan penting dalam kekosongan politik akibat hengkangnya tentara Perancis tersebut. Dalam waktu yang bersamaan, dari Istambul datang pula Pasa dengan bala tentara Utsmani untuk menguasai Mesir. Muhammad Ali dapat memenagkannya dan mengankat dirinya sebagai Pasa baru pada tahun 1805 dengan persetujuan penguasa Utsmai di Istambul Turki.
Dilihat dari latar belakang kehidupannya, dapat dipastikan bahwa beliau adalah seorang yang buta huruf. Namun demikian beliau mempunyai kesadaran yang tinggi akan arti penting pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan sebuah bangsa. Ia sadar bahwa usaha untuk mengadakan pembaharuan tradisi pendidikan di Mesir, sebagaimana yang terjadi di lembaga pendidikan Kuttab dan al-Azhar tidaklah mudah. Karena kuatnya tradisi dalam mempertahankan keberadaan lembaga pendidikan tersebut. Langkah pertama yang dilakukannya adalah mengadakan pembaharuan pendidikan dengan sistem sekoah modern. Hasilnya sangat menakjubkan, Mesir mulai mengenal dualisme dalam sistem pendidikan. Yaitu, pendidikan di Masjid dan Kuttab yang secara tradisional sebagai pendidikan agama dan pendidikan umum yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Hal ini mirip dengan kasus yang terjadi di Indonesia pada saat atau pasca kolonial, dimana pendidikan di Indonesia terdikotomi menjadi pendidikan agama yang diselenggarakan oleh madrasah dan pendidikan umum yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah.
Selama memerintah (1805-1848), ia merasakan ketidakmampuan pendidikan tradisional dalam menghasilkan tenaga terampil yang dibutuhkan oleh negara. Di sisi yang lain, situasi don kondisinya tidak memungkinkan untuk mengadakan terhadap perombakan sistem pendidikan yang berlaku. Akhirnya ia mengambil jalan tengah dengan membangun sekolah baru yang diilhami oleh ide-ide yang berkembang di Eropa. Tujuan utama pendirian sekolah ini adalah untuk mengisi kekosongan tenaga administrasi pemerintah dan tenaga ahli dalam bidang tertentu. Sekolah pertama yang dibangun adalah sekolah tinggi dan sekolah spesialisasi. Untuk mengisi sekolah ini, maka dibukalah sekolah menengah dan persiapan (madaris tajhiziyah) dan selanjutnya sekolah dasar. Pada tahun 1833, untuk pertama kali sekolah dasar di bangun di Kairo, Alexandria, dan diberbagai tempat lain, sebagai persipan untuk sekolah menengah.
Tidak hanya itu, untuk memperkuat posisinya, tidak kurang dari 311 mahasiswa dikirim ke Eropa, utamanya Prancis, Itali, Inggris, dan Austria, untuk belajar administrasi negara dan ilmu kemiliteran. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kemiliteran dan pemerintahan akan memperkuat kedudukannya. Oleh karena itu, mahasiswa yang dikirim ke Eropa dalam pengawasan yang ketat. Mereka tidak boleh belajar tentang ilmu politik yang dapat membahayakan kekuasaannya. Dalam pandangannya, Mesir dapat menjadi negara maju manakala mengadopsi dan memasukkan sistem dan kurikulum pendidikan Barat ke dalam kurikulum pendidikan Mesir. Dengan demkian dia bersama-sama dengan penguasa Utsmaniyah menjadi tokoh perintis modernisasi pendidikan di Timur-Tengah. Buah dari kerja keras ini akhirnya banyak sekali buku-buku militer dan lainnya, selain buku-buku politik, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Melalui buku-buku terjemahan inilah masyarakat Mesir mulai mengenal bangsa dan keilmuan bangsa Perancis dan bangsa Barat lainnya, sebagaimana ungkap Bosworth.
Senada dengan Bosworth, Bernard Lewis menegaskan bahwa mega proyek penterjemahan ini terjadi ketika suasana kedua belah pihak, Barat dan Islam, sangat bertolak belakang. Dunia Islam mengalami masa kemunduran dalam berbagai bidang, sedangkan dunia Barat mencapai puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi. Konon percetakan yang ada dalam dunia Arab Islam yang kali pertama didirikan oleh Muhammad Ali Pasa pada tahun 1822 adalah warisan Napoleon Bonaparte. Dari percetakan ini telah dihasilkan 243 buku untuk sekolah-sekolah yang didirikannya dan untuk fakultas pendidikan.
Dalam pandangan Muhammad Ali Pasa, ketinggian dan kemajuan Eropa terletak pada kekuatan militer dan ekonominya. Inilah yang mengilhaminya mendirikan sekolah militer, pabrik, rumah sakit, dan mengambil kebijakan ekonominya didasarkan atas`kemajuan revolusi industri. Tidak tanggung-tanggung, dialah yang kali pertama memperkenalkan pengolahan kapas di Mesir. Disamping seni kemiliteran, ia juga mengirimkan sebuah misi khusus ke Inggris untuk mempelajari mekanika. Gagasan Renaisance militer Muhammad Ali inilah yang menurut Hasan Ibrahim Hasan dianggap sebagai pembuka jalan bagi pergerakan revivalisme ilmu pengetahuan dan sastera.
Usaha pembaharuan dan modernisasi pendidikan yang prakarsai oleh Muhammad Ali Pasa ini mulai menampakkan hasil dengan munculnya sorang tokoh muda hasil didikan masa ini, Rifa’at al-Tahtawi (1801-1873). Ia adalah bagian program dari program perbaikan ekonomi-militer Mesir yang dicanagkan oleh Muhammad Ali Pasa. Pada tahun 1826 ia ditunjuk menjadi pemimpin delegasi pelajar-tentara Mesir yang di kirim ke Paris, Perancis. Saat itu Tahtawi sebetulnya sedang menikmati indahnya masa-masa belajar di al-Azhar Kairo. Ia mendapatkan guru yang baik, diantaranya adalah Syaikh Ibrahim al-Attar, guru dan pembimbing yang juga merupakan teman diskusinya yang mengasikkan. Ia mengerti betapa luhurnya tugas tentara. Karenanya ia tak menolak ketika gurunya merekomendasikan dirinya menjadi imam delegasi pelajar-tentara yang dikirim Muhammad Ali Pasa.
Selama lima tahun di Paris ia belajar bahasa Perancis dan mengamti sosiologi masyarakat Eropa. Ia pun melahab buku-buku berbahasa Perancis yang dijumpainya. Di kota itulah ia berkenalan dengan buku-buku logika, filsafat, sejarah, hukum, sastera, dan biografi orang-orang besar, termasuk biografi Napoleon Bonaparte. Ia juga berkenalan dengan pemikiran liberal Perancis semacam Voltaire, Montasquieu, Condillac, dan JJ. Rousseau.
Sekembalinya di Mesir, ia menuliskan pengalaman hidupnya selama di paris dalam sebuah buku yang kemudian menjadi sumber rujukan penting sejarah pemikiran modern dalam Islam. Yakni Takhlis al-Ibriz ila Takhlis al-Bariz. Pada tahun 1836 ia mendirikan lembaga penerjemahan yang disebut sekolah bahasa dan sekaligus menjadi kepalanya. Lembaga ini mirip dengan fungsi Bait al-hikmah pada masa-masa awal kerajaan Abbasiyah. Dia sendiri menerjemahkan sekitar 20 buku berbahasa Perancis dan mengedit puluhan karya terjemahan lainnya. Sebagian besar buku-buku yang disupervisinya adalah buku-buku sejarah, filsafat, dan ilmu kemiliteran. Biku penting yang diterjemahkannya sendiri adalah Considerations sur les Causes de la Grendeur des Romains et de Leur Decadence karya filsuf Perancis Montesquieu.
Pada pemerintahan Ismail, cucu Muhammad Ali yang lain, ia dilibatkan dalam berbagai kegiatan ilmiah, termasuk menjadi anggota komisi penerbitan pemerintah di Boulaq yang kemudian populer dengan sebutan Mathba’ah Boulaq. Di Boulaq, ia memberikan banyak masukan buku-buku berbahasa Arab Klasik yang perlu diterbitkan. Diantaranya al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun yang populer itu. Disamping kesibukannya sebagai penerjemah dan pengawas proyek penerjemahan, ia masih menyempatkan diri menulis beberapa buku penting. Diantaranya adalah al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin, yang ditulis untuk generasi muda dan Manahij al-Albab al-Mishriyya fi Mabahits al-adab al-Ashriyya tentang sosiologi Mesir. Ia pernah menjadi pimpinan surat kabar resmi pemerintah Mesir al-Waqa’iul Mishriyyah, yang bukan saja memuat berita-berita resmi, tetapi juga tentang kemajuan-kemajuan Barat. Ia bukanlah seorang sekuler, uasahanya adalah memperbaiki tradisi , khususnya dalam bidang pendidikan, kewanitaan, dan literatur. Ia menginginkan agar Mesir maju seperti dunia Barat, namun tetap dijiwai nilai-nilai agama dalam segala aspeknya.
Dalam hal agama dan peranan ulama’, ia menghendaki agar para ulama’ selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari ilmu pengetahuan modern. Perlu peninjauan kembali cara istinbath hukum syara’ dan dengan demikian pintu ijtihad tidak perlu ditutup, tetapi tetap membiarkan terbuka. Ia banyak menawarkan pemikiran baru. Pertama, ajaran Islam tidak hanya mementingkan akherat an-sich, tetapi juga dunia. Kedua, kekuasaan absolut raja harus dibatasi oleh syari’at, dan raja harus bermusyawarah dengan ulama’ dan kaum terpelajar, seperti: dokter, ekonom, dan lain-lainnya. Katiga, syari’at harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Keempat, kaum ulama’ harus mempelajari filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan modern agar dapat menyesuaikan syari’at dengan kebutuhan modern. Kelima, pendidikan harus bersifat universal dan sama bentuknya untuk semua golongan. Keenam, umat Islam harus bersifat dinamis dan meninggalkan sifat statisnya.
Inilah potret modernisasi pendidikan Mesir ditangan Muhammad Ali Pasa dan hasil didikannya, yang secara nyata memberikan sumbangsih besar bagi perubahan sistem pendidikan di Mesir. Ia telah berhasil membangun dasar-dasar sistem pendidikan modern untuk era selanjutnya. Usaha-usaha yang telah dirintis oleh kedua tokoh ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh, seorang cendekiawan muslim yang diakui kapabilitasnya, baik di mata ulama’ konservatis maupun modern Mesir. Ia diterima di semua kalangan.
Muhammad Abduh: Modernis pendidikan sejati.
Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharuan paruh kedua abad XIX. Beliau lahir dan besar dilingkungan pedesaan dalam keluarga bukan pendidik yang memegang teguh ajaran agama. Ia belajar kepada Syaikh Ahmad di Thantha pada tahun 1862. Dan pada tahun 1866 ia meneruskan pendidikannya di al-Azhar. Di sini ia berjumpa dengan Jamaluddin al-Afghani kali pertama dan menjadi muridnya pada tahun 1871 sewaktu menetap di Mesir. Pada tahun 1877 ia berhasil menyelesaikan studinya di al-Azhar dengan mendapatkan gelar ‘alim dan mengajar di sana. Tidak lama kemudian ia bersama-sama dengan gurunya diusir dari Mesir karena kasus politik. Pada tahun 1880 ia kembali lagi ke Mesir dan diangkat menjadi redaktur Waqa’iul Mishriyyah, surat kabar resmi pemerintah Mesir. Kariernya terus menanjak, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Majlis al-‘Ala al-Azhar pada tahun 1894. Pada saat inilah ia banyak melakukan perombakan dan perbaikan secara mendasar terhadap al-Azhar menjadi Universitas.
Menurutnya, umat Islam mengalami problem autentisitas Islam yang dianutnya. Hal ini menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran. Islam yang dianut umat bukanlah Islam yang sebenarnya. Untuk meraih kejayaannya kembali harus ada kesadaran untuk kembali kepada Islam sejati, Islam era klasik. Disamping juga melakukan gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam berbagai hal termasuk pendidikan. Terdapat perbedaan mendasar gerakan modernisasi yang dilakukan Muhammad Abduh dengan gerakan yang lain, seperti liberalisme. Perbedaan ini, ungkap Charles C. Adam, sebagaimana dikutip oleh W. M. Watt, berangkat dari perlunya westernisasi pendidikan. Pilihan gerakan ini dipengaruhi oleh ketertarikannya terhadap pemikiran Barat yang telah ia pahami selama berada di Perancis, Eropa.
Sikap jumud (statis) yang menghiasi alam pikiran dan prilaku umat Islam merupakan biang kemunduran dan menyebabkan mereka tidak dinamis, berhenti berpikir dan berusaha. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan Islam yang mengandung unsur-unsur gerak dinamis, sebagaimana ungkap Muhammad Iqbal. Oleh karenanya, kata Muhammad Abduh, umat Islam harus dinamis. Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Kemajuan Islam sebagaimana yang pernah dicapai pada masa-masa keemasannya adalah karena mementingkan pengetahun. Yang berarti memberikan porsi yang besar bagi akal untuk memahami ayat-ayat Tuhan, baik ayat qauliyah maupun kauniyah. Karenanya perlu memasukkan kurikulum baru mengenai ilmu pengetahuan modern ke dalam madrasah dan al-Azhar, sebagai syarat mencapai kemajuan.
Ide tersebut muncul dari perenungan Muhammad Abduh terhadap metode pengajaran yang berlaku dilembaga pendidikan Islam, madrasah dan al-Azhar, yang dianggapnya beku, dogmatis, dan membelenggu pemikiran. Hampir saja ia patah semangat seandainya tidak berjumpa dengan Jamaluddin al-Afghani. Pertemuannya dengan al-Afghani memberikan spirit untuk untuk bangkit dan segera keluar dari apatisme dan membangun kembali kejayaan Islam. Dalam merealisasikan mimpi-mimpi besarnya ini, ia lebih senang menempuh jalur pendidikan dari pada jalur politik (siyasah) sebagaimana yang ditempuh gurunya, al-Afghani. Dengan keyakinan bahwa pendidikan dan sains Barat modern adalah kunci kemakmuran dan kejayaan Eropa, dia memandang perlu digalakkan usaha-usaha pengembangan sistem pendidikan baru keseluruh pelosok Mesir dan negera-negara Islam yang berdekatan agar menjadi negara besar dan kuat.
Lawatan ke Eropa, khusunya Inggris dan perancis, yang sering dilakukannya merupakan bukti bahwa dia adalah pengagum berat peradaban Eropa. Tradisi ini dilakukannya tidak semata-mata bersifat rekreatif untuk melepaskan kejenuhan, tetapi dalam rangka untuk mencari inspirasi baru bagi kamajuan Islam. Ia mengungkapkan: “Bila pergi ke Eropa, saya tidak pernah gagal mendapatkan inspirasi untuk merubah bangsaku menuju suatu kehidupan yang lebih baik”. Pada saat semangatnya kendor karena beratnya tantangan yang dihadapinya, dia kembali lagi ke Eropa selama satu atau dua bulan. Ide-ide baru pun diperolehnya kembali. Konon ia pernah berkata: “Aku temukan Islam di Eropa, tetapi mereka bukan muslim. Sementara aku temukan muslim di negeri Islam, tetapi bukan Islam itu sendiri.
Posisi akal dalam pandangan Muhammad Abduh menempati poisi sentral. Hal ini karena wahyu tidak akan pernah membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau makna zahir ayat bertentangan dengan akal, maka harus dicari penafsiran yang membuat ayat-ayat tersebut sesuai dengan akal. Jadi wahyu harus tunduk di bawah rasionalitas akal. Demikian juga ilmu pengetahuan modern yang banyak didasarkan pada ketentuan hukum alam juga tidak bertentangan dengan Islam. Lantaran hukum alam (sunnatullah) dan wahyu berasal dari Allah. Islam harus sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan juga sebaliknya. Jangan lupa! Kemajuan Barat dan Islam masa lampau disebabkan ilmu pengetahuan. Dus, dengan demikian penguasaan pengetahuan untuk mencapai kejayaan Islam yang telah hilang merupakan sebuah keniscayaan.
Secara umum pemikiran progresif Muhammad Abduh telah mempengaruhi dunia Islam (termasuk Indonesia), terutama Arab. Dialah orang yang kali pertama memasukkan mata pelajaran mengenai illmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Ide-ide besarnya tertransformasikan melalui karya-karya dan murid-muridnya yang tersebar ke berbagai pelosok dunia. Abduh banyak mencetak generasi pemikir muslim handal. Konon, terbelahnya pemikiran fundamental dan liberal dalam Islam muncul dari guru yang sama, yakni Muhammad Abduh. Murid-muridnya terbagi menjadi dua kelompok, kelompok kiri-liberal (seperti: Qasim Amin, Ali Abd al-Raziq) dan kanan-fundamental (seperti: Muhammad Rasyid Ridha, Syakib Arslan).
Gerakan Islam fundamental dan liberal yang berakar dari pembelahan murid-murid Abduh tersebut banyak menghiasi gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan di dunia, termasuk Indonesia. Kecenderungan ini apat dilihat pada isu-isu yang diusung, seperti pro-kontra pendirian negara Islam dan penerapan syari’at Islam.
Kesimpulan
Terdapat pertanyaan yang menarik. Mengapa Muhammad Ali Pasa pada saat berkuasa di Mesir berusaha membangun kembali kemegahan Mesir? Dimana sebelumnya Mesir dikenal melalui tingginya tingkat peradaban dan ilmu pengetahuannya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Sebagaimana dimaklumi bahwa jauh sebelum Mesir jatuh ke tangan Napoleon, saat itu berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani, tanda-tanda kemundurannya telah diketahui. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian penguasa Turki terhadap Mesir. Dengan menarik ulama’ dan ahli perusahaan ke Istambul, Turki. Hanya sedikit ulama’ yang tertinggal di al-Azhar, Mesir. Akhirnya Mesir menjadi kota yang sunyi, statis, dan dinamika intelektualnya menurun.
Nah, pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasa ini mulai ada usaha untuk mengembalikan kejayaan Mesir. Dalam pandangan Muhammad Ali Pasa, satu-satunya cara yang harus ditempuh adalah mengembalikan supremasi pengetahuan yang telah hilang. Ini berarti harus melalui jalur pendidikan. Tetapi pembaharuan dan perbaikan pendidikan belum sepenuhnya tercapai. Terutama mengadakan perombakan total terhadap sistem pendidikan al-Azhar. Hal ini dikarenakan Muhammad Ali Pasa disibukkan dengan pengiriman pelajar ke Eropa. Disamping juga karena kondisi sosial masyarakatnya tidak memungkinkan. Walaupun perbaikan dan pembaharuan al-Azhar mengalami keterlambatan, yang mestinya harus dilakukan pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasa, tetapi terdapat hal yang menggembirakan. Yakni tradisi pemeliharaan kitab-kitab klasik telah terlaksana dengan baik.
Terlepas dari kekurangan yang ada, prinsip-prinsip yang mendasari sistem pendidikan yang dibangun Muhammad Ali Pasa dan karakteristik sekolah yang berkembang dalam waktu singkat tersebut, memaksa sistem pendidikan Mesir beralih ke bentuk unik yang bertahan selama beberapa dekade.
Setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu dicatat berkenaan dengan upaya modernisasi pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Ali Pasa. Pertama, diberlakukannya sistem sentralistik sebagai akibat dari pengaruh pendudukan Perancis. Disamping ia sendiri adalah seorang otokrat yang memusatkan kekuasaannya ditangannya sendiri. Ia harus mengetahui detail permasalahan pemerintahan, termasuk pendidikan. Semua berada dalam pengawasannya. Hal ini demi tercapainya kwalitas lulusan yang mampu memenuhi kebutuhan pemerintahannya. Jadi langsung maupun tidak langsung penguasa mempunyai kepentingan dalam setiap aspek sistem pendidikan. Kedua, karena tujuan utamanya bersifat pragmatis (memperkuat kebijakan), maka modernisasi pendidikan yang dilakukan lebih terfokus pada lembaga tingkat tinggi yang khusus melatih profesionalitas pegawai. Oleh karenanya bersifat elitis, kurang memperhatikan pendidikan ditingkat bawah. Ketiga, Muhammad Ali Pasa secara sadar membuat keputusan untuk mengabaikan sekolah yang sudah ada dan bukan untuk mencoba menciptakan sistem modern bagi semuanya.
Inilah sebuah fakta yang terjadi, dua sistem pendidikan, baik tradisional maupun modern, yang mirip namun terpisah ini muncul di Mesir. Masing-masing berorientasi ke nilai-nilai radikal yang berlainan. Hal ini berakibat pada adanya perpecahan institusional yang membawa catatan penting bagi perkembangan masa depan Mesir. Yakni berlangsungnya kesenjangan masyarakat dan terkotaknya kaum intelektual negeri itu sebagai hasil didikan sekolah agama atau hasil didikan sekolah modern. Jika dicermati, stereotip ini juga terjadi di Indonesia, lulusan univerisitas atau lulusan IAIN.
Sebagai pamungkas tulisan ini, dapat ditegaskan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Ali Pasa merupakan pengaruh dari penaklukan Napoleon atas Mesir. Napoleon sangat berjasa besar dalam memperkenalkan secara langsung ilmu pengetahuan Barat kepada dunia Islam, Mesir. Sehingga membangkitkan semangat masyarakat Mesir untuk maju dan meraih kejayaan yang telah hilang. Dan orang yang pertama memulai pembaharuan dan modernisasi, terutama dalam bidang pendidikan, adalah Muhammad Ali Pasa. Dialah “The Founder of Modern Egypt”. Usaha-usaha beliau kemudian dilanjutkan oleh para pembaharu Mesir selanjutnya, seperti: Rifat al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Di tangan tokoh yang terakhir inilah al-Azhar banyak melahirkan tokoh-tokoh handal yang mampu mempengaruhi gerakan-gerakan modernisasi di seluruh dunia Islam. Diantara nya adalah Rasyid Ridha yang terkenal dengan karyanya Tafsir al-Manar; M. Qasim Amin dengan Tahrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah-nya; Farid Wajdi dengan Dairat al-Ma’arif-nya; Ali Abd al-Raziq, Sa’ad Zaglul, dan lain sebagainya. Wallahu ‘Alam bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baqli, Al-Mukhtar Min tarikh al-Jabarti, Mathabi’ al-Sya’ab, Kairo, Mesir, 1958.
Asmuni, Yusran, Pengantar Studi pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, LSIK, Jakarta, 1995.
Assyaukani, Lutfi, Wacana Islam Liberal di Timur Tengah, gogle;//www. Islam liberal, diakses pada tanggal 30 Maret 2005.
Assyaukani, Lutfi,, Rifat Tahtawi: Bapak Pembaharuan Pemikiran Keagamaan Mesir, gogle;//www. Islam liberal, diakses pada tanggal 21 Mei 2004.
Bosworth, C.E., The Islamic Dynasties, Edinburgh, Terj. Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 1993.
Esposito, John L, Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1986.
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History an Culture, From 632-1968, Terj. Jahdan Humam, Kota Kembang, Yogyakarta, 1989.
Hourani, A., Arab Thought in The Liberal Age 1798-1939, Oxford University Press, London, 1962.
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Relegious Thought in Islam, Idarat Adabiat, Lahore, tth.
Jalaluddin dan Sa’id, Usman, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Jamelah, Maryam, Islam dan Modernisme: Kritik Terhadap Berbagai Usaha Sekularisasi Dunia Islam. Terj. A. Jaelani, Usaha Nasional, Surabaya, tth.
Kedutaan Besar RI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Islam di Mesir Pada sekolah Dasar dan Perguruan Tinggi , Buku III, KBRI, Kairo, 1984.
Lewis, Bernard, The Arabs in History, Terj. Said Jamhuri, Pedoman ilmu Jaya, 1988.
Liowics, Joseph S. Szy, Education and Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W., al-Ikhlas, Surabaya, 2001.
Manan, M. Sholehan dan Ami, Hasanuddin, Pengantar perkembangan Pemikiran Muslim, Sinar Wijaya, Surabaya, 1988.
Nasution, Harun, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.
Philip K. Hitti, The Arabs: A Short History, Terj. Usuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing, Sumur Bandung, Bandung, tth.
Szyliowics, Joseph S., Education end Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W., Al-Ikhlas, Surabaya, 2001.
William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism an Modernity, Routledge, London, 1988.
Selengkapnya lihat Jonh L. Esposito, Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hal. 87.
Napoleon Bonaparte adalah seorang Jenderal berkebangssaan Perancis. Akibat pendudukannya di Mesir, mulai saat itu dan bahkan sampai sekarang, kontak dua negara tersebut terjalin dengan baik. Terutama dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini antara lain disebabkan oleh dikuasainya dengan baik bahasa Perancis oleh sebagian masyarakat Mesir serta banyaknya tokoh-tokoh muda Mesir yang didelegasikan ke Perancis untuk menimba ilmu di sana. Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Salah satu komentar al-Jabarti yang berhasil terekam adalah “Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”.untuk lebih jelasnya lihat Al-Baqli, Al-Mukhtar Min tarikh al-Jabarti, Mathabi’ al-Sya’ab, Kairo, Mesir, 1958.
Harun Nasution menegaskan bahwa dalam perpustakaan tersebut Islam diungkapkan dalam berbagai bahasa dunia, seperti: bahasa Eropa, Turki, Persia, dan Arab. Harun Nasution, Ibid.
Joseph S. Szy Liowics, Education and Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W., al-Ikhlas, Surabaya, 2001, hal. 127.
M. Sholehan Manan dan Hasanudin Ami, Pengantar perkembangan Pemikiran Muslim, Sinar Wijaya, Surabaya, 1988, hal. 97.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal. 34-35.
Kedutaan Besar RI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Islam di Mesir Pada sekolah Dasar dan Perguruan Tinggi , Buku III, KBRI, Kairo, 1984, hal. 5.
C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, Edinburgh, Terj. Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 1993, hal. 93-94.
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History an Culture, From 632-1968, Terj. Jahdan Humam, Kota Kembang, Yogyakarta, 1989, hal. 359.
Lihat Lutfi Assyaukani, Rifat Tahtawi: Bapak Pembaharuan Pemikiran Keagamaan Mesir, gogle;//www. Islam liberal, diakses pada tanggal 21 Mei 2004.
Dalam buku ini, Tahtawi memuji pencapaian yang dilakukan negara-negara Eropa, khususnya Perancis. Ia menggambarkan kondisi Perancis yang bersih, anak-anak yang sehat, orang-orang yang sibuk bekerja, semangat belajar yang terpancar dari wajah kaum mudanya, dan kelebihan-kelebiahn lainnya yang ia saksikan selama berada di Paris, Perancis. Selain memberikan pujian, Tahtawi juga memberikan kritikan terhadap masyarakat Perancis. Ia mengatakan bahwa kaum pria di negeri itu telah menjadi budak para wanitanya dan orang-orang Perancis pada umumnya sangat meterealsitis.
Dari buku-buku yang diterjemahkannya, terlihat kecenderungan Tahtawi terhadap filsafat politik. Satu tema yang kemudian menjadi isu sentral dari pemikiran-pemikirannya, khususnya ketika ia berbicara tentang kondisi Mesir dan bangsa Arab modern. Sayangnya, lembaga penerjemahan yang sangat berjasa itu harus ditutup ketika penguasa Mesir yang juga cucu Muhammad Ali, Abbas I, mulai tidak menyukai dan membuangnya ke Hartoum, Sudan. Baru pada pemerintahan Sa’id, anak keempat Muhammad Ali menggantikan kemenakannya, ia diperbolehkan pulang ke Kairo, dan kembali memegang peranan dalam gerakan penerjemahan buku-buku asing.
Menjelang ajalnya (1873), ia masih menyempatkan diri menjadi editor di beberapa majalah berkala yang diterbitkan oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan Mesir. Disamping menulis ertikel, ia masih menyempatkan diri mendaftar beberapa buku penting berbahasa Arab untuk dipublikasikan.
Yusran Asmuni, Pengantar Studi pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, LSIK, Jakarta, 1995, hal. 75.
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan…, Op. Cit. hal. 60-61. Bandingkan dengan Harun Nasution, Islam di Tinjau…, Op. Cit. hal. 99.
Tentang prinsip gerak dalam Islam menurut Muhammad Iqbal lebih lengkapnya lihat dalam Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Relegious Thought in Islam, Idarat Adabiat, Lahore, tth.
Menurut pandangan Muhammad Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka pintu ijtihad, maka kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus dimajukan dikalangan rakyat agar mereka dapat berlomba dengan masyarakat Barat. Karena, jika Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan dipahami secara benar, tak satupun dari ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Dan akal merupakan salah satu dari potensi manusia, dan Islam menganjurkan untuk menggunakan akal itu. Iman menjadi kurang sempurna tanpa didasarkan pada akal. Jalaluddin dan Usman Sa’id, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 156.
Maryam Jamelah, Islam dan Modernisme: Kritik Terhadap Berbagai Usaha Sekularisasi Dunia Islam. Terj. A. Jaelani, Usaha Nasional, Surabaya, tth., hal. 180-181.
Jika dilihat dari bagaimana cara Muhammad Abduh mengagungkan akal, maka dia dapat dimasukkan kelompok pemikir yang lebih cenderung ke mu’tazilah. Hal ini dapat dilihat dari uraiannya mengenai perbuatan manusia dalam bukunya Risalat al-Tauhid. Dalam buku tersebut ia menjelaskan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. Penelitian penulis Barat menyebutkan bahwa kemunduran umat Islam lebih dikarenakan mereka menganut paham fatalism (jabariyah), dapat ia setujui. Karena memang faham ini ada dikalangan umat Islam awam. Ia menyatakan bahwa dalam Islam telah terjadi pembelokan dalam memahami faham Qadha’ dan Qadar kearah sikap pasrah. Padahal sejatinya faham ini bersifa dinamis. Sebagai buktinya adalah tingginya peradaban Islam itu sendiri yang pernah terekam dalam sejarah.
Untuk melihat wacana Islam liberal di Timur Tengah secara utuh baca A. Hourani, Arab Thought in The Liberal Age 1798-1939, Oxford University Press, London, 1962.
Lihat Lutfi Assyaukani, Wacana Islam Liberal di Timur Tengah, gogle;//www. Islam liberal, diakses pada tanggal 30 Maret 2005.
Joseph S. Szyliowics, Education end Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W., Al-Ikhlas, Surabaya, 2001, hal. 136-137.
Philip K. Hitti, The Arabs: A Short History, Terj. Usuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing, Sumur Bandung, Bandung, tth., hal. 244.